Jumat, 01 Agustus 2025

Dipeluk Jeda

 Akhirnya bisa jeda sejenak.

Saya berefleksi kembali perjalanan beberapa tahun ini setelah masa healing sejak 2019 lalu. Pandemi 2020-2021 ketika energi saya sedang ingin berpacu tiba-tiba dunia ingin berjeda. Maka setelah 2021 semua energi berpacu. Mengejar ketertinggalan-ketertinggalan yang saya rasakan di masa lalu. Berpuas diri dengan pencapaian-pencapaian kecil dunia. Di lain sisi ada ambisi yang masih menyala tetapi jalannya semakin berlawanan arah, entah kapan akan berbelok.

Percikan-percikan semangat di awal jika dibiarkan terus tanda didinginkan ternyata bisa membakar. Seperti mesin yang terus menyala dia juga bisa memberontak karena terlalu panas. Gap year 2015-2018 lalu benar-benar membuat saya kehilangan orientasi hidup, sehingga wajar rasanya jika tahun-tahun setelahnya saya "melakukan balas dendam" dengan "mengejar ketertinggalan-ketertinggalan". Ternyata dunia bergerak begitu cepat meski tanpa kita di dalamnya. Saya berusaha keras masuk kembali ke dalam pusarannya. Hingga semakin ke sini semakin bertanya kenapa arahnya berbeda dari yang saya tuju?

Pusaran yang terlalu cepat ternyata melelahkan juga. Sadar ada raga yang perlu dijaga, ada jiwa yang perlu dipelihara. Dua tahun belakang ini benar-benar tanpa ampun dan jeda. Kebun batin yang dipaksa terus produktif, unsur haranya semakin menipis. Barangkali saatnya menata kembali kebun ini, membiarkan ekosistemnya berestorasi. Alam memiliki mekanismenya yang canggih untuk pulih. Ambil jarak sejenak dari campur tangan manusia. Biarkan ilalang-ilalangnya tumbuh lebat dulu sebelum kembali ke jalur pendakian. Barangkali ada ekosistem yang perlu dirawat dengan lebih bijak. Tidak perlu memaksakan tanaman yang seragam untuk dapat dipanen bebarengan. Biarkan kebun itu menumbuhkan tanaman-tanaman yang memang selayaknya tumbuh di sana sebagai satu ekosistem alami.

Kebun batin itu adalah kita. 


Selasa, 08 Juli 2025

Amigdala yang Terus Siaga

"Amigdala adalah bagian dari otak yang berbentuk seperti kacang almond dan terletak di sistem limbik. Amigdala berperan penting dalam pemrosesan emosi, terutama rasa takut dan kecemasan, serta dalam pembentukan memori yang terkait dengan pengalaman emosional. "

Akhirnya berada di fase ini. Setelah beberapa tahun belakang energi baik saya terasa 
semakin menurun dari waktu ke waktu. Ini berdampak tidak hanya pada pekerjaan tapi 
juga relasi pertemanan, dan bahkan jika dibiarkan terus-terusan draining tentu akan 
semakin needy ke pasangan. Padahal pasangan juga membutuhkan energi baik 
dari diri kita. Karena kita punya kebun batin masing-masing.

Ini tercermin juga pada bagaimana kita merawat barang-barang di sekitar kita. 
Sudah beberapa bulan ini saya tidak berani lagi menyapa komposter dan 
tanaman-tanaman di halaman rumah. Semua berjalan seperti business as usual. 
Semakin kita attach pada atribusi apa yang kita lakukan atau pekerjaan dan 
circle yang kita miliki, semakin kita kehilangan diri sendiri. 
Yap, seperti kata direktur di kantor kami bahwa there is no permanency working 
in NGO. Ini mengajarkan saya untuk tidak attach apa sesuatu. Tapi di lain sisi 
saat ini saya semakin berada di mode siaga terus menerus. Amigdala saya bekerja 
terus dalam keadaan siaga. Sampai pada titik rasa lelah dan itu wajar. 

Fase ini mengajarkan saya untuk detach dan melakukan kalibrasi energi. Seiring 
dengan akan berakhirnya project yang sedang saya lakukan bersama dengan tim, 
saya harus mengatur strategi kembali untuk memberi jeda sejenak pada diri sendiri. 
Jeda untuk melakukan kalibrasi energi. 

Beberapa waktu yang lalu saya cukup impulsif mencoba berbagai peluang dengan 
energi kepanikan apalagi dengan berita-berita kondisi sekarang yang semakin tidak 
pasti. Rasanya harus bersegera untuk mengamankan diri. Tapi ternyata energi saya 
sedang tidak baik-baik saja.

Maka dari itu sekarang mulai belajar menerima bahwa mengambil jeda sebentar 
itu tidak apa-apa. Asal jeda itu berstrategi. Selanjutnya serahkan semuanya pada Allah, 
biarkan langit yang bekerja.

Kamis, 03 November 2022

Migrasi 30HBC 2021



Untuk mengawali hari 1, saya coba tuliskan rencana tema yang ingin ditulis dulu ya. Akhir-akhir ini saya tidak bisa fokus di depan laptop untuk membaca dan menulis karena terlalu banyak distraksi angka-angka dan peristiwa yang mengharuskan lebih banyak bekerja di luar ruangan dan berhubungan dengan banyak orang. Di kepala saya masih kosong konsep.Sebenarnya ingin lebih banyak bicara pada isu-isu gender. Saya mengakui sebuah pernyataan bahwa semakin banyak bicara mengenai kesetaraan gender, semakin jauh justru kita berada pada konsep kesetaraan yang sebenarnya. Tapi ternyata agenda belum selesai. Kenapanya nanti kita bahas di sesi-sesi selanjutnya lah ya.
Tahun 2020 kemarin bacaan saya memang lebih banyak tentang itu. Dan agaknya saya perlu membuat tulisan-tulisan mengenai konsep kesetaraan yang saya pahami untuk barangkali bisa sedikit membantu meluruskan pandangan dengan kernyitan dahi orang-orang pada umumnya.
Saya sedang merampungkan proyek besar juga mengenai isu ini. Jadi ya mau nggak mau isi otak saya adalah itu meski sebenarnya masih banyak yang perlu digali lebih dalam lagi.
Ini tentang pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di kepala. Mengapa sih di jaman modern ini masih membutuhkan bahasan yang terdengar sudah basi ini? Bukankah tingkat pendidikan perempuan sudah jauh lebih tinggi? Agenda apa sih yang belum selesai? Kesetaraan macam apa lagi yang mau dicapai?
Semoga besok tulisan itu sudah mengalir kembali.
Selamat menyambut tahun baru. Semoga lebih baik.

Note:
Saya berusaha sekali untuk tidak menulis hal-hal sentimentil dulu di sini. Kecuali kalau sudah mentok. Hahaha 😂


#30haribercerita


Sebenarnya bingung bahasannya mau mulai dari mana. Kenapa sih isu equality masih masuk dalam agenda pembangunan dunia? Mengapa masih saja pengarusutamaan perempuan, padahal setara kan harusnya tidak hanya perempuan kan?

Kita kembali lagi ke tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan level dan kualitas hidup masyarakat. Wellbeing.

Adapun standar wellbeing itu juga sampai sekarang masih dikaji. Dari pengukuran kuantitatif ekonomi negara dengan GDP, hingga ukuran-ukuran lain seperti kemiskinan, ketimpangan, indeks pembangunan manusia, juga indeks kesetaraan gender. 

Lagi-lagi kenapa sih kesetaraan gender? Meskipun secara kuantitas populasi dunia laki-laki dan perempuan itu hampir sama (separo separo lah, mendekati), tapi UN sendiri masih mencatat adanya deprivasi akses pemenuhan kebutuhan dasar dari perempuan dibandingkan laki-laki di beberapa negara, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan.

Memang paling enak jika kita bicara langsung contoh konkretnya ya. Dan ini adalah contoh kasus, jadi bukan generalisasi.

Misal dalam suatu rumah tangga, ada yang cenderung lebih anak laki-laki daripada perempuan dalam hal akses pendidikan ketika budget mereka untuk pendidikan anak terbatas. Jadi, prioritasnya di sini bukan berdasarkan kemauan dan kemampuan yang bersangkutan tapi berdasarkan gender. Karena anak laki-laki dianggap lebih berperan dalam pencari nafkah di kemudian hari saat mereka beranjak dewasa. Anak perempuan dianggap akan menjadi tanggung jawab bagi laki-laki, sehingga tidak apa-apa untuk tidak bersekolah tinggi.

Pada kenyataannya, perekonomian dunia berkembang. Membatasi peran berdasarkan gender tidak selalu hal yang bijak untuk dilakukan. Bagaimana jika dalam satu rumah tangga tersebut tidak asa laki-laki yang bisa menafkahi mereka? Misal kepala rumah tangga adalah perempuan. Pencari nafkah utama adalah perempuan. Dan karena akses pendidikan mereka dibatasi, rata-rata pendapatan mereka lebih rendah dari pada rata-rata pendapatan laki-laki. Data juga berbicara demikian. Masih ada gap pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Contoh lainnya, ketika perempuan bekerja kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja karena pernikahan. Entah itu mengikuti suami ke tempat bekerja suami, sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaan di tempat sebelumnya atau karena ingin fokus mengurus rumah tangga dan anak-anak. Pendapataan mereka akan menjadi nol dan sepenuhnya bergantung pada pendapatan suami.
Beruntung jika mendapatkan pernikahan yang bahagia sakinah mawaddah warahmah. Bagaimana jika tidak? Berapa banyak yang kemudian menjadi janda karena bercerai atau suami meninggal dengan mereka tidak memiliki mata pencaharian sendiri? Mereka akan menjadi kelompok yang paling rentan ketika terjadi guncangan. Guncangan pada istri yang tidak bekerja akan cenderung lebih besar daripada guncangan pada suami sebagai pencari nafkah ketika terjadi perpisahan.

Beberapa studi juga menunjukkan (bukan tulisan ilmiah jadi nggak pakai sitasi gk papa ya 😅), bargaining power perempuan dalam rumah tangga cenderung lebih tinggi ketika perempuan itu berpenghasilan. Ini bisa jadi menunjukkan kita pd hipotesis bahwa perempuan yang tidak bekerja tentu tingkat ketergantungannya lebih tinggi kan, sehingga bargaining power mereka lebih rendah dalam pengambilan keputusan.

Bargaining power yang rendah itu menunjukkan apa? Less representation. Adanya deprivasi kesempatan mereka utk berperan. Kesempatan untuk hidup lebih berdaya. Kalau istilahnya Amartya Sen, "to function in society".

Bahwa hak setiap individu untuk hidup secara bermartabat itu perlu dipastikan tetap ada untuk siapapun, apapun gender dan kebutuhan khusus mereka.Dari contoh kasus di sesi-sesi sebelumnya paling tidak bisa kita lihat adanya deprivasi kesempatan seseorang untuk mencurahkan potensi penuh mereka. Menjadi versi terbaik dari diri mereka. Beda kan mereka yang mendapat kesempatan bersekolah lebih tinggi, kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka lebih beragam daripada yang tidak. Berapa banyak yang karena kesempatan itu tidak ada, harus menjalani satu pilihan hidup untuk bertahan hidup dengan pendapatan yang lebih rendah.

Intinya adalah menggandakan pilihan dengan memberikan kesempatan.

Dari contoh kasus perempuan menikah yang kemudian menjadi kepala rumah tangga, kita bisa melihat sulitnya mereka untuk kembali ke pasar tenaga kerja dan bersaing kembali untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 

Belum lagi stigma yang harus mereka hadapi. Laki-laki bercerai atau istrinya meninggal, cenderung memiliki kesempatan menikah lagi yang lebih tinggi daripada his counterparts. Apalagi jika dipandang lebih mapan, status duda bukan lagi menjadi persoalan. Bagaimana dengan status janda? Wow, barriernya lebih berlapis. Oh berarti sudah bukan perawan ya. Oh pernah gagal ya. Oh kalau menikah lagi tidak setia dong dg almarhum suami. Dll dst

Bisa lihat perbedaannya?

Meskipun kita bisa mengklaim bahwa perempuan sekarang sudah jauh lebih berdaya dari sebelumnya. Tapi masih banyak pekerjaan rumah.

Oke, kita lanjut lagi. Ketrigger sm obrolan perkoncoan duniawi @romihartarto dan @kanetasya di twitter. Nanggepin twit mbak-mbak ituh ttg women empowerment. Sbenernya mau bahas ini agak akhir2, tp gk papa disinggung sdikit di awal. Nanti pengin sedikit bahas juga ttg empowerment index dan poverty line. Ini bisa jadi bahan penelitian baru kalau mau.Agak rempong jg ya trnyata bikin kerangka berpikir ttg isu2 ini. Banyak banget soalnya topiknya.

Satu hal yang perlu kita garisbawahi di sini ya...

Spektrum dari pemikiran orang itu luas. Bukan berarti ketika seseorang setuju pada pendapat orang di poin tertentu, dia akan setuju pada pendapat orang tersebut di poin lainnya. Makanya ketika bicara isu gender lebih aman menurut saya sih bicara pada tataran kasus. Salah satunya konteks keterwakilan kuantitas perempuan di bidang tertentu. To some extent saya oke dengan ini, tapi ada satu sisi di mana kontribusi bermakna itu jauh lebih penting daripada sekedar jumlah daftar hadir.

Nah, bicara equality, tentu harus dari both side dong ya...nggak bisa sisi perempuan aja. Makanya bener, semakin bicara kuantitas proporsi by gender, semakin jauh sebenarnya dari equality itu. Atau kita memang baru di level awal dari pencapaian equality itu sendiri.

Nah, jan jane sejauh mana sih kita memaknai equality itu?

Ini sebenarnya pengin saya bahas tersendiri. Dari pembahasan standar ganda, invisible labor yg dibahas Gemma Hartley dalam bukunya, patriarki, gender based violence, toxic masculinity dll...

Tapi kembali dulu ke bahasan makna yang ingin dicapai dari gender equality. Seringkali kita membuat batasan diri bahwa sebagai perempuan, harusnya tuh lemat lembut, dll. Begitu juga dg laki-laki, harusnya tuh sangar 🤣, gk boleh nangis, dll. Punya pengalaman juga nih dulu ketika diminta utk memimpin suatu organisasi, seringnya nolak dg alasan kalau bisa yang cowok dulu aja. Berpikiran bahwa saya sebagai perempuan masih butuh dibimbing. Padahal barangkali di antara yang lain kita dianggap lebih capable untuk memimpin saat itu. Hal ini yang secara unconcious terbentuk dalam diri kita karena pengaruh juga dari society. Begitu juga dengan pelabelan jenis pekerjaan tertentu dengan gender tertentu. Kenapa ya fakultas psikologi kebanyakan mahasiswanya cewek. Kenapa ya anak teknik kebanyakan cowok. Ada nggak sih yang dari awal memilih jurusan sudah memikirkan oh ini jurusan cowok, ini jurusan cewek. Kemudian pelabelan itu berlanjut ke ranah profesi. Sehingga minoritas gender yang berada di profesi tersebut dianggap sebagai outlier.

Jadi, masih perlu nggak sih menuntut jumlah proporsi tertentu untuk keterlibatan perempuan di suatu bidang? Well, nggak sepenuhnya jelek juga sih. Tapi jauh sebelum menuntut proporsi kuantitas itu, gimana caranya pelabelan itu diminimalisir dulu deh kalau belum bisa ditiadakan.

Sebenarnya analoginya sama dengan pelabelan disabilitas dan non-disabilitas. Oh mereka yang disabilitas dinilai tidak bisa melakukan pekerjaan tertentu dibandingkan yang non-disabilitas. Atau pengkotak-kotakan disabilitas berdasarkan hambatannya sehingga melabelkan suatu hambatan pada kecocokan pekerjaan tertentu.Padahal, kita tidak pernah bisa mengeneralisir kemampuan seseorang atas dasar disabilitas maupun non-disabilitas, laki-laki dan perempuan, dll. Setiap orang memiliki kapasitas dan keunikan yang berbeda-beda.

Kadangkala dan sering juga sih, pengkotak-kotakan label itu hanya membatasi ruang kita secara sadar maupun tidak sadar pada kesempatan untuk berkembang lebih.

Teman-teman penyandang disabilitas (tanpa memberikan mereka pelabelan), bisa lebih berkembang sesuai dengan kemampuan terbaiknya ketika memang diberikan fasilitas untuk meniadakan hambatan mereka. Begitu juga dengan gender apapun. Laki-laki tetap bisa berperan dalam mengorganisir warna dan busana anak, misalnya, yang seringkali dipandang sebagai pekerjaan perempuan. Atau mereka bisa memasak untuk istrinya juga. Begitu juga dengan perempuan, jika dia mampu memperbaiki kran rusak, tidak masalah juga jika dia melakukan pekerjaan itu.

Balik lagi ke bahasan peran antar gender dalam sebuah rumah tangga. Saya sendiri setuju pada pandangan bahwa selain hamil dan menyusui, segala pekerjaan rumah tangga bisa dilakukan oleh kedua belah pihak (laki-laki maupun perempuan). Bisa dengan pembagian sesuai kesepakatan, atau mekanisme lainnya yang sama-sama menyenangkan untuk kedua belah pihak. Jadi semangatnya bukan lagi dikotomi pemenuhan kewajiban, ini kewajibanku itu kewajibanmu, tetapi lebih ke semangat untuk saling melayani. Dan itu tentunya harus seimbang. Keduanya harus punya semangat yang sama. Bukan lagi karena itu kewajibanmu, maka di sini aku hanya membantu ya...Tetapi lebih pada karena ini tanggung jawab bersama, maka kita handel bersama. Aku bagus di bidang ini, kamu bagus di bidang itu, mari lakukan yang terbaik bersama.

Ya...barangkali ini terdengar terlalu klise atau gimana ya...hahaha. tapi beneran ada lhoo

Jadi gitu ya...
Terus kalau yang ingin dicapai endingnya nanti tidak perlu ada pelabelan, kenapa masih bahas gender equality? Masuk di SDGs nomor 3 lagi. Yang diklaim sebagai enabler dari pencapaian hasil-hasil pembangunan lainnya.
Kondisi saat ini, kita ternyata belum sampai ke sana. 

Pertanyaan selanjutnya, jika semua sudah mencapai kesetaraan, masih perlukan gerbong kereta khusus perempuan? Hmm menarik untuk didiskusikan lebih lanjut sih ini. 
:D

Sabtu, 14 Agustus 2021

Kebun Batin

 Akhir pekan ini saya ingin baca yang ringan-ringan. Saat iseng lihat astrological chart kemarin katanya ini adalah waktu yang tepat buat saya menyelami diri sendiri. Perlu dicatat, saya bukan orang yang percaya astrologi ya...karena memang harus sangat berhati-hati untuk urusan akidah. Begituh yang saya pelajari. Tapi somehow menarik juga untuk sekali waktu dibahas bagaimana perhitungan peredaran planet-planet, waktu, angka-angka berkaitan dengan kejadian-kejadian riil di bumi. Sebenarnya bisa diteliti secara ilmiah jika mau. Ada juga yang meneliti tentang neptu primbon secara matematika. Barangkali jika bisa mengolah data Susenas atau IFLS, kita hitung primbon berdasarkan hari kelahirannya, pasangannya, lalu dilihat sebaran kasus perceraian, atau kesejahteraan rumah tangga, bahkan persepsi kebahagiaan. Kalau diseriusin bisa sih.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas sekarang. Lagi-lagi ketika saya ingin menulis tentang sesuatu prolog membuat saya berbelok ke yang lain dulu.

Malam ini saya sedang membaca buku ringan tulisan Mbak Sarah Diorita. Kamus Rasa Sarah Diorita. Sampai pada bab bahasan tentang Kebun Batin, saya tersentuh di sini. Berasa relate banget. Saya selama ini bertanya-tanya bagaimana pasangan-pasangan itu terlihat tenang satu sama lain. Mereka terlihat sangat genuine bisa menerima kekonyolan pasangannya bahkan menertawainya dengan lucu (in positive way). Apakah mereka tidak pernah merasakan konflik batin atau semacam hal negatif yang tidak terungkapkan atau bagaimana? Mereka sebenarnya bahagia secara tulus tidak ya dengan pasangannya? Selama ini saya terus mengamati dan mengobservasi di lingkungan sekitar saya. How couples handle their relationship in a good way.

Saya sampai bertanya-tanya, kualitas apa sih yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk bisa menjalani kehidupan relasi yang positif? 

Saya sudah banyak mengikuti sesi self-healing, membaca quotes untuk mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain, dll. Tapi masih saja saya sering lupa. Dan ini seperti diingatkan kembali. Bahwa tiap kita memiliki kebun batin. Kebun yang unik yang kita sendirilah yang bertanggung jawab merawat kebun itu. Kita sendiri yang menamam benih-benihnya, menyiram, memberi pupuk, merawatnya setiap saat. 

Begitu juga dengan orang lain. Mereka memiliki kebun batin yang khas. Yang tidak selalu kita paham tanaman apa saja yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan kebun kita, tidak selalu kita bisa mengajak orang lain untuk masuk dan mempelajari semua tanaman yang ada di kebun kita. Memberi mereka ujian agar lulus sebagai cadangan perawat kebun kita jika suatu saat diri kita sedang tidak bisa merawatnya.

Ternyata bukan begitu. Tidak semua orang tertarik pada apa yang ada di kebun kita. Mereka juga memiliki kebun sendiri yang harus mereka rawat dan jaga. Bukan orang lain yang harus ikut bertanggung jawab atas kebahagiaan kita, tapi diri kita sendiri. Ini mudah diucapkan tapi jika tidak dilatih, sering lupanya. 

Kita tidak bisa memaksakan cara kita menjalani hidup kepada orang lain agar sama dengan kita. Fokus merawat kebun kita masing-masing sehingga kita bisa menikmatinya dan barangkalil orang lain juga bisa turut menikmatinya. Silakan. 

Menciptakan eksternalitas positif. Itu saja sebenarnya.

Rabu, 11 Agustus 2021

Mengheningkan

 Ini adalah catatan refleksi saya yang sudah lama tidak muncul di blog ini. Halo, apa kabar?

Bagi saya menulis reflektif seperti ini bisa jadi salah satu sarana menemukan diri kembali, untuk hening sejenak, atau sekedar mengurai benang kusut yang ada di kepala.

Saya hanya ingin melihat perjalanan saya ke belakang, karena sepertinya sudah mulai bingung arah. hehe

Ternyata belajar mencintai diri sendiri itu butuh proses yang tidak singkat, sehingga self-love yang selama ini kita gemakan untuk diri sendiri menjadi hilang arah. Kita merasa sudah mencintai diri sendiri, tetapi masih melakukan hal merugikan diri sendiri, masih overthinking, masih memikirkan validasi dari orang lain, dll.

Rasanya kegagalan di masa lalu sangat membuat saya menjadi keras untuk membuat standard agar jangan terulang kembali. Batu bata standard yang berasal dari ketakutan itu tanpa sadar sudah lumayan tinggi. Kemudian saya hilang arah, batu bata ini sebenarnya mau dibikin apa? Rumah yang seperti apa?

Saya ingin setelah ini semua berjalan dengan sempurna sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Begitu keras saya mempersiapkan itu untuk menghindari gagal yang sama. Energi saya lebih banyak tercurah pada menghindari. 

Untuk sampai ke tujuan dengan selamat dan sustain, bensin kita menuju ke sana terbuat dari apa?

Mari kita kembali menyelami dan menyadari diri sendiri dulu. Hening. Penuhi gelas cinta kita. Mari menabung cinta, untuk bisa memberi lebih banyak cinta kepada orang di sekitar kita.

Self-compassion.

Selasa, 05 Januari 2021

Awal Baru

 Hanya ingin memberikan apresiasi untuk diri sendiri karena sudah bertahan sejauh ini dengan baik. Akhir tahun kemarin menjadi waktu yang cukup though bagi saya dengan berbagai persoalan yang beruntun seakan saya belum diijinkan untuk fokus satu saja pada tesis. Tapi pada akhirnya waktu-waktu yang sulit itu menjadikan saya bertumbuh. Saya dipaksa mengambil keputusan cepat dan dipaksa untuk menyadari tanggung jawab saya sebagai seorang leader. Memanajemen orang dengan berbagai karakternya itu tidak mudah. Tekanan dari satu sisi dan sisi lainnya sempat membuat saya stress. 

Yap, awal tahun ini menjadi awal yang baru bagi kami. Akhirnya saya memutuskan untuk berani mengambil langkah radikal yang sempat mendapat tentangan dari bapak. Ini sudah lama saya dambakan sebenarnya. Bagaimana menciptakan suasana kerja yang kondusif bagi karyawan dan juga saya. Sehingga pelanggan yang datang merasa bahagia juga. Alhamdulillah...meskipun belum bisa memberikan gaji yang dikatakan layak, tapi bersyukur bisa hire lebih banyak orang. Semoga saja bisa memberikan lebih banyak manfaat baik untuk mereka. Tujuannya agar lebih sedikit orang yang merasa tereksploitasi. Tapi mereka bekera dengan perasaan gembira karena mendapatkan pengalaman dan pembelajaran. To be more "human".

Karena yang dicari adalah keberkahannya kan...memang secara moneter, profit yang didapat belum seekspansif usaha kuliner yang seharusnya. Tetapi, coba kita mulai dari sini. 

Terima kasih, sudah berani mengambil langkah.

Terima kasih, tim baruku.

Senin, 28 Desember 2020

Ketiban Sampur

Ini adalah istilah Jawa yang menggambarkan orang yang terlanjur mendapat kalungan selendang dari sang penari mau tidak mau dia harus ikut menari. Yap, kurang akhir tahun kemarin diskusi tentang ini dengan seorang dosen dan beberapa kolega dalam lingkaran kami. Lagi-lagi tentang family business. Pernah saya tulis juga di blog beberapa waktu lalu. 

Menjadi keturunan dari orang orangtua yang memiliki bisnis biasanya dianggap sebagai sebuah good fortune karena memiliki privilege lebih dari yang lainnya ketika bisnis keluarganya berhasil. Sebagai anak dari pemilik bisnis, biasanya akan diwarisi untuk meneruskan bisnis tersebut apalagi jika sudah memiliki nama besar. Jangan salah juga, kontribusi bisnis keluarga dalam perekonomian ternyata cukup besar. Kita bisa lihat Astra, Gudang Garam, dll. Meskipun sudah melantai di bursa, kepemilikan saham terbesar tetap dipegang oleh keluarga besar. Tidak sedikit pula pemilik bisnis juga berlaku sebagai pemangku manajemen. Jika bicara pada tataran bisnis besar, tentu itu adalah good fortune, meskipun tidak dipungkiri juga usaha pribadi tetap berperan di sana.

Bagaimana dengan bisnis keluarga yang berada dalam ranah UMKM? 

Jika boleh berpendapat, tidak semua keturunan bisnis keluarga mendapatkan good fortune bagi dirinya. Bisnis keluarga bisa menjadi bisnis yang berkembang jika dikelola secara profesional. Mereka bisa melibatkan tenaga berkompeten untuk menjalankan bisnis mereka. Bisa pula mereka terjebak dalam lingkaran manajemen yang tidak profesional karena campur aduk kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis secara profesional.

Studi Delloite Private menunjukkan hanya 13% dari total bisnis keluarga di Indonesia yang bisa bertahan hingga generasi ketiga. Biasanya generasi pertama yang membangun hingga berada di atas. Generasi kedua mengembangkan, dan generasi ketiga akan terjadi penurunan. Wow, this too scary. And there's no such thing as too big too fail. Let's see Nyonya Meneer.

Kembali ke fortune. Bagaimana jika orang yang terlanjur mendapat selendang penari itu sebenarnya tidak ingin ikut menari dan terpaksa menari?

Yes, sebagai orang yang "ketiban sampur" itu, barangkali saya merasa bersyukur di satu sisi karena usaha keluarga saya bisa menghidupi saya sejauh ini. Di lain sisi saya tidak ingin ikut menari tapi terpaksa menari. Ada beban tersendiri memang ketika kita ingin mengembangkan bisnis keluarga hingga bisa outopilot dan lebih profesional, tetapi terkendala pada sistem lama yang sulit dirubah. Curcol ini, kadang merindukan juga suasana keluarga yang tidak membahas bisnis dan pekerjaan. It feels like there is no home. Apalagi ketika tidak bisa dibedakan kapan berkumpul melepas penat bersama keluarga dan kapan berbincang tentang bisnis.

Seperti di film-film itu ya ternyata. Ah, kalau pernah nonton Crash Landing On You, teringat pada sosok Yoon Se Ri yang berasal dari keluarga pemilik bisnis. Konflik terjadi ketika ada kompetisi dari anak-anak pemilik bisnis tersebut. Kemudian salah satu akan memilih keluar dan membangun karirnya sendiri seperti Yoon Se Ri. Ahahaha. Kebanyakan drama. 

Sempat kepikiran sebenarnya untuk membuat komunitas untuk para successor bisnis keluarga. Barangkali suatu saat kita bisa saling bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah antar successor yang harus membawa nama besar keluarga mereka sepanjang hidup mereka. Wondering aja sih how they deal with personal expectation dan tuntutan keluarga. 

It's not about how you get settled in your life. More than that, it's about how you create a good and greater impact. To have a meaningful life. To live meaningfully. 

For the sake of my lifetime goal: Ph.D.